PERSIS DALAM PETA GERAKAN PEMBARUAN KEISLAMAN DI INDONESIA

May 15, 2009 at 4:34 pm | Posted in 1 | Leave a comment

Ahmad hasan Ridwan

(Staf Pengajar Pasca Sarjana UIN SGD Bandung)

A. Pendahuluan

Gerakan pembaruan Islam di Indonesia  yang gencar diwacanakan memunculkan beragam corak pemikiran. Pembaruan ini yang menekankan pada penyadaran diri umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan mengumandangkan terbukanya pintu ijtihad. Pembaruan tahap awal ini sebagaimana Fazlur Rahman jelaskan, diwarnai oleh semangat pemurnian ajaran islam gerakan yang diidentifikasi merupakan upaya purifikasi ajaran dan sanggahan terhadap budaya lokal ini seringkali berkisar pada tema menghadirkan, memberi isi dan peran Islam di tengah kehidupan sosial dan menjadikan Islam sebagai perangkat untuk transformasi sosial.

Gerakan pembaruan telah berjalan hampir satu abad. Selama rentang waktu itu banyak terjadi perubahan, baik yang bersifat sosial, politik, ekonomi maupun perubahan sikap dan pandangan hidup umat Islam yang disebabkan  oleh adanya perubahan-perubahan masa dan situasi  politik yang penuh gejolak dan pergolakan. Pola, sasaran dan unsur-unsur gerakan pembaruan tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan ini. Semangat dan kecenderungannya pun terjadi berbeda dilihat dari tingkat pemahaman terhadap corak perubahan yang terjadi, ruang lingkup dan batas-batas yang memungkinkan ditolelirnya perubahan dan pembaruan.[1]

Watak gerakan pembaruan islam selalu mengaitkan purifikasi sebagai pendekatan. Purifikasi dipandang sebagai produk dari proses interaksi berbagai pemikiran yang mempengaruhi pemikiran Islam. Interaksi dialogis telah melibatkan sebuah proses dialektika yang intensif  antara tradisi besar dan tradisi kecil dalam sejarah gerakan pembaruan Islam. Perubahan (change) terjadi ketika gerakan purifikasi merupakan tradisi baru memiliki kekuatan dibanding tradisi lama. Akan tetapi, proses kesinambungan (continuity) dengan tradisi lama tetap berjalan meskipun telah muncul tradisi baru. Purifikasi  merupakan artikulasi dari proses kesinambungan (continuity) dan perubahan (change), dan purifikasi menjadi pendekatan untuk memahami pesan teks dalam sumber hukum Islam.

B. Modernisasi dalam pemikiran Islam

1. Modernisasi

Salah satu persoalan besar yang dihadapi negara-negara berkembang adalah masalah modernisasi. Modernisasi sering diartikulasikan dengan westernisasi, padahal dua  terma ini mempunyai aksentuasi yang berbeda, hanya saja ada kesamaan dalam masalah perubahan (Change). Perubahan ini merupakan muara dari tiga terma yaitu : Development, Modernization dan Westernization. Development bercirikan prosperity (kemakmuran) dari pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang yang terkaper dalam equity dan equility. Westernisasi pada umumnya diartikan sebagai proses transformasi nilai, yaitu nilai-nilai Barat, ke dalam negara-negara berkembang, sedangkan modernisasi dipahami sebagai proses perubahan yang lebih menyeluruh, di bidang sosial, politik, ekonomi, pemikiran, sedangkan transformasi nilai hanyalah merupakan bagian dari proses-proses tersebut.

Kenyataan ini membuat pemerintahan negara-negara berkembang–termasuk Indonesia–mendorong modernisasi dalam berbagai sektor. Masyarakat Indonesia – yang mayoritas bergama Islam – sadar akan kebutuhan terhadap modernisasi. Di samping itu juga lahirlah para cendekiawan dan tokoh Islam yang memberikan respon yang positif terhadap modernisasi.

Modernisasi pemikiran islam melahirkan gagasan pembaruan yang berangkat dari pemahaman terhadap teks dan penjelasan konteks sejarahnya.

Pertama, Secara tekstual, ide pembaharuan berangkat dari hadits Nabi:[2]

“Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw. Sesungguhnya Allah SWT. telah mengutus bagi umat ini pada setiap seratus tahun ada seorang yang melakukan pembaruan agamanya.” (H.R. Abu Daud, al-Hakim dan baihaqi)

Kedua, dalam konteks sejarah pemikiran Islam, pembaruan pemikiran Islam berangkat dari adanya ketegangan antara keinginan mempertahankan warisan intelektual islam dengan tantangan modernitas yang semakin kompleks. Dinamika pemikiran  akibat munculnya modernisme melahirkan tahapan-tahapan dan tipologi pemikiran.

Tipologi dan trend pemikiran yang berbeda menawarkan respons dan solusi yang berbeda berdasarkan perspektif trend dan aliran pemikiran yang beragam. Fazlur Rahman melihat pembaruan pemikiran dalam Islam dari segi sejarah dan adanya tuntutan internal serta ekternal Islam. Tahap pertama yang ia sebut sebagai revivalis pramodernis yaitu pembaruan pemikiran Islam yang menekankan pada penyadaran diri umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan mengumandangkan terbukanya pintu ijtihad. Pembaruan tahap awal ini diwarnai oleh semangat pemurnian ajaran islam sebagaimana terjadi pada masa salaf yang bercorak literalis dan skripturalis. Pembaruan tahap ini juga ditandai oleh belum adanya kontak langsung dengan Barat.

Pada tahap selanjutnya, ketika pembaruan pemikiran telah mengalami kontak dengan peradaban Barat, melahirkan  gerakan modernisme, di mana pembaruan tidak saja didorong oleh tuntutan  internal tetapi juga tuntutan eksternal. Dalam hal ini, Fazlur Rahman membagi lagi ke dalam dua fase, yaitu : modernisme klasik yang lahir pada abad 19 dan awal abad 20 dengan ditandai oleh perluasan cakupan ijtihad dan upaya mengadaptasi peradaban Barat untuk memacu kemajuan islam dan modernisme kontemporer yang muncul sebagai kelanjutan dan sekaligus reaksi atas modernisme klasik. Namun demikian, Rahman menilai bahwa semua gerakan  modernisme tersebut mengalami kegagalan. Dengan demikian, Rahman menawarkan bentuk baru pemikiran Islam yaitu neomodernisme.[3]

2. Pembaruan untuk Purifikasi

Banyak terminologi yang dipakai dalam pengertian modernitas ini yang kesemuanya memiliki arti yang sama atau ada keterkaitan. Ada yang mengartikan modernitas adalah pembaruan, tajdid, reorientasi pemurnian kembali. Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa pembaruan berarti upaya mengembalikan pemahaman agama kepada kondisi semula sebagaimana masa nabi. Ini bukan berarti bahwa hukum agama harus persis seperti yang terjadi pada waktu itu, melainkan melahirkan keputusan hukum untuk masa sekarang sejalan dengan maksud syar’i dengan membersihkan dari unsur-unsur bid’ah, khurafat atau pikiran-pikiran asing.[4]

Pada prinsipnya pembaruan berintikan pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Proses perubahan sosial terjadi pada suatu masa yang memiliki sistem pengetahuan  dan sistem simbolnya sendiri, yang ditentukan oleh tingkatan teknologi yang berkembang pada waktu itu. Cara berpikir, cara berpengetahuan dan cara menciptakan simbol-simbol sangat terikat pada tingkatan teknologi masyarakat pada zamannya. Begitu pula dengan umat Islam Indonesia yang mengalami dua periode  teknologi, yaitu paleoteknik (agraris) dan neoteknik (industri). Pertama, alam pikiran umat Islam Indonesia secara umum bercorak mitis dan magis sehingga memandang gejala alam sebagai pembatas (constraint) manusia. Akibatnya masyarakat agraris sulit sekali menggalang solidaritas ummat.[5] Kedua, periode neoteknik di mana alam pikiran cenderung logis dan rasional.

Menurut teori perubahan sosial Durkheim, bahwa agama dianggap sebagai perekat solidaritas sosial, agama memantapkan komitmen anggota masyarakat dan sekaligus memberdayakan mereka, yang kemudian disebutnya sebagai kesadaran kolektif.[6] Tidak ada masyarakat tanpa seremoni umum yang memperkuat sentimen-sentimen dan kepercayaan umum.[7] Sentimen kolektif dalam Islam adalah iman atau tawhid, solidaritas sosialnya adalah ummat dan struktur tekniknya berupa kepemimpinan ulama atau kiyai dalam komunitas santri.

Kesadaran kolektif inilah membentuk citra masyarakat Islam modern di Indonesia ini sehingga dicirikan dengan berdirinya organisasi-organisasi Islam, seperti Sarekat Dagang Islam (1909) kemudian Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Thawalib (1918), Persatuan Islam (1923) dan Nahdhatul Ulama (1926).

Mukti Ali menjelaskan berdasarkan pada analisis H.R. Gibb dalam Modern Trend in Islam, bahwa ada lima proyek yang menjadi kegiatan organisasi Islam di Indonesia yaitu :1. membersihkan islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan islam, 2. reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam fikiran modern, 3. reformasi ajaran-ajaran dan pendidikan Islam, 4. mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan-serangan dari luar, dan 5. melepaskan Indonesia dari belenggu penjajah.[8]

Untuk menganalisis masyarakat Islam modern di Indonesia, maka gambaran yang utuh dan tepat tidak akan dicapai jika tidak mengetahui keadaan masyarakat Indonesia umumnya, dan masyarakat Islam khususnya yaitu pada akhir abad ke 19 dan permulaan abad ke 20 yang sebenarnya menjadi latar belakang bagi pertumbuhan masyarakat Islam modern di Indonesia.

1. Pengaruh Hindu India

Menurut cacatan sejarah bahwa Islam masuk ke Indonesia lewat India dan sudah barang tentu dipengaruhi oleh budaya India tersebut. Bercampurnya Islam dengan elemen hindu menyebabkan agama ini dapat langsung diterima oleh masyarakat, khususnya masyarakat jawa, karena mereka sudah kenal betul terhadap ajaran-ajaran Hindu. Kemudian agama Islam ini juga lebih banyak diajarkan oleh kaum sufi yang lebih toleran dalam melihat tradisi yang ada di masyarakat waktu itu.

2. Pengaruh Arab

Pada masa ini pengaruh Arab sangat besar terhadap perkembangan keagamaan di Indonesia. Bangsa Arab (Hadramaut) yang pada mulanya hanya merupakan kelompok migran yang merantau ke Indonesia melakukan aktivitas pengajaran Islam di Indonesia. Sebaliknya, orang Indonesia pergi ke haji selain banyak yang menetap di Makkah dan Madinah untuk mendalami ajaran Islam juga banyak yang menjadi ulama besar setelah kembali ke Indonesia

3. Pengaruh Muhammad Abduh

Akhir abad ke 19, Muhammad Abduh melancarkan usaha modernisasi ajaran Islam di Mesir. Ajaran Salafiyah berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Pemikiran Abduh tentang pembaruan pada dasarnya bersifat agama. Aspek inilah yang paling ditekankan para pembaru umumnya di Indonesia, paling tidak pada masa awal. Dari bentuk-bentuk aktivitas Abduh untuk memperbaiki umat islam menjadi inspirasi pembaruan Islam di indonesia. Di pandang dari sudut in I pembaruan di Indonesdia tampaknya merupakan reproduksi dari perkembangan di Mesir.

4. Pengaruh Eropa

Penetrasi bangsa Eropa di perairan wilayah Indonesia memberi pengaruh untuk memperkuat ortodoksi dan kemurnian Islam di Indonesia. Hal ini nampak pada bidang kebudayaan maupun pendidikan.

5. Pengaruh Misi Kristen

Kegiatan misi Kristen di Indonesia dengan dukungan moril dan materil kaum penjajah menjadi tantangan tersendiri bagi umat islam un tuk melihat kembali keyakinan (aqidah) untuk diperkuat dan dikokohkan. Hal ini melahirkan kesadaran akan perlunya perubahan-perubahan di berbagai bidang.

C. Aktivitas Pembaruan pada organisasi Islam

Keanekaragaman pemikiran dan paham keagamaan yang ada di dalam tubuh intern umat Islam di Indonesia merupakan kenyataan historis (historical ought) yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun.  Oleh karena itu pemikiran merupakan suatu pergulatan kreatif di kalangan orang tertentu dalam sejarah, yaitu pemikir, yang memiliki keprihatinan terhadap sesuatu yang dipandang penting bagi kehidupan manusia. Produk pemikiran mengacu pada aspek-aspek normatif dan empirik yang dibingkai oleh kerangka acuan yang digunakan oleh pemikir. Corak pemikiran mencerminkan produk zamannya. Ia merupakan suatu sintesa dari tuntutan kesinambungan dan tuntutan perubahan. Substansi pemikiran mencakup dimensi historis, dimensi bingkai situasi dan dimensi idealisme. Ia terbuka untuk dikritik dan dikembangkan. Aktualisasi produk pemikiran membutuhkan implementasi, saluran, pelanjut dan agregat sasaran. Sebab dalam genealogi intelektual, setiap pemikiran selalu merupakan aksi sekaligus reaksi terhadap wacana yang sudah ada.

Perkembangan sejarah pembaruan pemikiran Islam Indonesia adalah kenyataan sosiologis yang keberadaannya tak bisa dihindari. Potret pembaruan pemikiran yang terjadi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh atmosfer pergulatan dan perjuangan melawan kolonialisme.

Pada awal abad kedua puluh, perjuangan melawan penjajahan Belanda mengalami perubahan strategi yang cukup signifikan dari perjuangan fisik-peperangan ke arah perjuangan politik, kebudayaan, sosial dan keagamaan. Salah satu ciri yang paling menonjol adalah berdirinya organisasi-organisasi massa yang berbasis kedaerahan, kepemudaan dan keagamaan. Perubahan strategi ini dilakukan karena perjuangan melalui konfrontasi fisik-peperangan telah mengalami kegagalan. Kekuatan militer Belanda tidak mungkin dilawan. Persenjataan dan ketrampilan perang serdadu Belanda terlalu kuat. Di samping itu, rakyat Indonesia juga  sangat mudah diadu domba. Politik pecah belah mereka berhasil melumpuhkan tentara Indonesia.

Secara telegrafis kategori paling sederhana tentang pembaruan yang direpresentasikan oleh Organisasi islam di Indonesia yang berdiri pada awal abad kedua puluh dan merefleksikan wajah baru dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Syarikat Islam  (Cokroaminoto)

Penelusuran sejarah pemikiran dan perjuangan tokoh-tokoh pergerakan nasional (biografi)[9] sungguh merupakan keniscayaan dalam membangun struktur kesadaran berbangsa dan bernegara. Secara sederhana perkembangan sejarah nasional Indonesia  terlihat dalam tiga fase : pertama, fase pra-nasional  sampai 1908. kedua fase nasional 1908-1985 dan ketiga, fase pasca nasional 1985-sekarang.

Pada awal fase kedua tahun 1908-1928  merupakan momentum integrasi etno-linguistik yang memuncak pada peristiwa Sumpah Pemuda. Kemudian pada tahun 1928-1945 dianggap sebagai integrasi konstutusional, dimulai dengan  perhimpunaan partai-partai politik yang mendukung kemerdekaan. Sehingga pada periode tersebut selesailah integrasi horisontal antara berbagai kekuatan masyarakat.

memasuki fase kedua  ini, maka babak baru  perkembangan nasionalisme dimulai   dengan berkembangnya kelas menengah pribumi pada awal abad 20, disusul berdirinya sarikat Islam atau serikat Dagang Islam. SI mengawali  bangkitnya ekonomi pribumi dan tumbuhnya rasionalisme  di lingkungan masyarakat yang punya akibat penting dalam sejarah pemikiran.[10]

Tumbuh mekarnya pemikiran pada fase kedua ini diluaskan koridornya oleh sosok pemikir-pejuang H.O.S. Tjokroaminoto dengan karakter dan substansi dasar yang khas Islam sosialistik. Visi ini berbeda dengan kelompok Islam Modernis yang menempuh jalan pragmatis serta kelompok Islam tradisional yang pada saat itu masih kuat di bawah cengkraman alam religio-feodalisme. Perbedaan lain yang kontras terlihat dengan kelompok komunis yang ateistik dengan struktur diametral kesadaran revolusioner memusuhi Islam.

Kekhasan kedua yang dimiliki Tjokroaminoto adalah ketokohannya sebagai bapak bangsa yang melahirkan kader-kader bangsa yang tangguh. Proses pengkaderan dimulai dengan kegiatan Intelektual Tjokroaminoto melalui tulisan-tulisannya yang bersifat jurnalistik di surat-surat kabar. Dialog-dialog cerdas  dalam kerangka intellectual exercise dilakukan  dengan para pemuda yang indekos di rumahnya, di antaranya: Soekarno, Alimin, Muso, Abikusno, harmen kartowisastra, sampurno dan lainnya.[11]

Ketokohan dan nuansa visi Tjokroaminoto menyublim ibarat “mutiara”. Namun, sejalan dengan perkembangan sejarah bangsa Indonesia, kebesaran gagasan Tjokroaminoto seolah terbenam dalam lumpur (limbo) zaman, terlipat dalam sejarah, terlebih tidak ada publikasi massif sebagai bahan diskursus penting, sehingga napas  diskursus nyaris tak terdengar. Ketersembunyian gagasan-gagasan besar Tjokroaminoto menarik untuk dikaji dan ditelaah terutama menyangkut gagasan Pan Islamisme.

  1. Penulis mengasumsikan (hipotesa) bahwa Pan Islamisme Tjokroaminoto mengikuti alur pemikiran al-Afghani, menggerakkan semangat kebangsaan Indonesia menentang penjajahan. Ia juga merupakan ide politiknya yang paling subtil sebagai ujung tombak   yang  mengarah ke jantung kolonialisme.[12]

Tjokroaminoto adalah pemikir nasionalistik-sosialistik-populistik dan pejuang penerus visi perjuangan Jamaluddin al-Afghani. Karya sosial dan karya magnum opus Tjokroaminoto menunjukkan pemahaman genial yang menakjubkan atas berbagai fenomena sosial  dan begitu kaya akan ide-ide orisinal. Karena itu tidak berlebihan Tjokroaminoto disebut sosok seorang ratu adil. Tjokroaminoto berusaha mengadakan antitesis terhadap kultur dan struktur kolonialisme-feodalisme. Basis antitesis pemikirannya diletakkan di atas weltanschaung Islam yaitu tauhid yang diimplementasikan pada program perjuangan melalui wadah SI.

Syarikat Islam telah menjadi pusat axis pemikiran dan aktivitas pergerakan yang telah melahirkan pusat-pusat pusaran baru. Tjokroaminoto berada pada axis komunitas yang telah meluaskan jaringan imajinasinya lewat pikiran-pikiran kreatif  yang membebaskan dari struktur dan kultur kolonialisme serta feodalisme untuk  menata kembali tatanan kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya umat Islam di Indonesia. Cita-cita menghadirkan  tatanan  masyarakat yang egaliter dan sistem politik yang emansipatoris tidak menindas, ternyata harus dimulai dengan membangunkan sistem kesadaran masyarakat Islam Indonesia tentang urgensinya persatuan dan kesatuan umat Islam Indonesia lebih-lebih dalam skala global, yang berujung pada penciptaan pandangan dunia (Weltanschaung) Islam yaitu: pan Islamisme.

Pan Islamisme adalah representasi pemikiran kongkrit merupakan loncatan pemikiran ke depan. Seluruh ide-idenya mengerucut pada pencapaian cita-cita tertinggi yaitu persatuan umat Islam seluruh dunia untuk melawan kolonialisme. Sehingga setiap perjuangan melawan kolonialisme akan sangat relevan Pan Islamisme digagaskan.

2. Muhammadiyah  (Ahmad dahlan)

Strategi perjuangan KH. Ahmad Dahlan melawan penjajahan melalui persyarikatan Muhammadiyyah. KH. Ahmad Dahlan melakukan perlawanan tanpa kekerasan dari tengah, bukan dengan mengasingkan diri atau melakukan konfrontasi budaya sebagaimana dilakukan oleh gerakan Islam pada umumnya.

Pemikiran dan perjuangan seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, pendidikan, Agama dan konteks sosialnya. Begitu pula dengan KH. Ahmad Dahlan. Latar belakang keluarga santri-priyayi yang dekat dengan kalangan keratin membuat KH. Ahmad Dahlan cenderung menempuh langkah-langkah dialogis yang mengedepankan harmoni dibandingkan dengan pendekatan konflik-agitatatif. Selain itu, pengaruh madzhab Syafii yang cukup kuat mendorong sikap-sikap KH. Ahmad Dahlan yang moderat yang terbuka.

Strategi kultural yang damai tanpa kekerasan ternyata bisa membawa pengaruh yang sangat kuat. Mahatma Gandhi melawan penjajahan Inggris tanpa kekerasan. Nelson Mandela melawan politik apartheid melalui rekonsiliasi dan integrasi social masyarakat Afrika Selatan. Di Indonesia, para ulama telah berjuang membangun masyarakat untuk meraih kemerdekaan dan meletakkan sendi-sendi kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sesuai dengan ajaran Islam. Tugas generasi sekarang adalah mengambil keteladanan dan mempertahankan keutuhan Negara Indonesia melalui akhlakul karimah, persatuan, pendidikan yang bermutu dan ekonomi yang maju.

3. Nahdatul Ulama  (Hasjim Asy’ari)

Hadlratussyeikh Hasjim Asj’ari dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1371. Ia merupakan anak lelaki keturunan Kiai. Nenek moyangnya berasal dari Demak. Ayahnya bernama Asy’ari yang memulai “karier” kiainya dengan membantu Kiai Usman sebagai gurunya dan dikemudian hari sebagai sebagai mertuanya di Nggedang sebelah utara Jombang. Apabila ditelusuri nasab K.H. Hasjim Asj’ari ini sampai kepada keluarga Alu Syaiban yang berasal dari keturunan para da’i Arab Muslim yang datang ke Indonesia pada abad ke-4 Hijriyah. Mereka merupakan “pengelana” yang menyebarkan Islam ke Asia Selatan dan mendirikan pusat agama Islam dan kesultanan-kesultanan Islam. Jika ditelusuri nasab ibunya K.H. Hasjim Asj’ari masih keturunan Raja Brawijaya, seorang Raja di Pulau Jawa. Kedua nasab ini menjadikan K.H. Hasjim mempunyai silsilah keturunan kiai sekaligus berdarah raja.

Karier pendidikan K.H. Hasjim Asj’ari dimulai dari pendidikan dibawah asuhan orangtuanya sendiri di desa Keras Jombang. Kemudian ia mengecap pendidikannya dari pesantren ke pesantren, akhirnya menentap di pesantren Siwalan Panji milik Kiai Jakub di Sidoardjo pada tahun 1891. Ia kemudian menikah dengan putri gurunya ini pada tahun 1892. Pendidikannya diteruskan dengan belajar agama di kota Mekkah dan menetap disana selama tujuh tahun dan sempat disana belajar kepada ulama Minangkabau yaitu Syeikh Ahmad Khatib.

Tradisi belajar dengan menghabiskan waktu yang cukup panjang ini seterusnya  akan menjadi ciri khas sistem pendidikan Pesantren di Indonesia terutama pesantren yang tidak menggunakan sistem klasikal. Bagi seorang santri untuk dapat memperoleh hasil yang memadai biasanya belajar sepuluh sampai lima belas tahun lamanya.

Kepergian K.H. Hasjim Asj’ari ke alam Baqa meskipun sudah 60 tahun yang lalu, tetapi hingga sekarang, pemikiran keagamaan K.H. Hasjim Asj’ari masih dipuji dan tetap berlaku. Risalah dakwahnya masih terus dicatak ulang, dan sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pengaruhnya terhadap para santrinya, pengikutnya dan keturunannya, juga masih kuat.

Keberhasilan dalam mencetak dan melahirkan murid-muridnya yang menjadi kiai besar di Indonesia, merupakan ciri khas dari hasil perjuangannya dan hal ini agak sulit mencari figur lain seperti K.H. Hasjim Asj’ari di Indonesia ini.

Pemikiran K.H. Hasjim Asj’ari selain terpancar dalam kehidupan murid-muridnya juga terumuskan dalam tulisan-tulisannya. Hal ini harus menjadi teladan dan peringatan bagi umat Islam terutama bagi murid-murid dan para pengikutnya bahwa kegiatan tulis menulis dalam keterbatasan alat tulis dan media tidak menjadi halangan bagi K.H. Hasjim Asj’ari dalam melahirkan karya tulis yang bernilai tinggi, apalagi pada masa kini – bagi para pelanjutnya – dengan dukungan referensi dan alat tulis serta media yang mudah dan tidak terbatas harus lebih produktif lagi.

4. Persatuan Islam (A.Hassan)

Membaca pemikiran A.Hassan, seorang pemikir Islam radikal dan pesohor intelektual (mujaddid) selalu menemukan sesuatu yang “mencerahkan”, dan membaca untuk sampai ke arah yang mencerahkan itu tidaklah mudah untuk dipahami dan diterima. Selain pemikiran A. Hassan memiliki pesona tersendiri bagi para pengagumnya, dan tidak sedikit disalahpahami oleh sebagian kelompok. Untuk memahami pemikiran A.Hassan memerlukan sebuah pembacaan  tersendiri, gagasan-gagasan yang tertuang dalam karya-karyanya haruslah dipahami dalam konteks keagamaan  dan sosial politik di Indonesia. Nilai-nilai luhur bertebaran di puluhan karyanya, tentang fiqh, tafsir dan teologi. Karena gagasan dan pemikirannya dikesani mencerahkan, maka A.Hassan dikagumi sekaligus menjadi medan kajian dan rujukan di kalangan pemikir Indonesia. Ide-ide A.Hassan yang tersebar dalam Karya-karyanya berpengaruh pada konstalasi pemikiran di Indonesia.

Melalui pembacaan (Fiqh ta’wil), pemikiran A.Hassan dapat dikaji secara historis-kritis terhadap hubungan antara aspek sosial A. Hassan dengan produk pemikirannya, asumsi-asumsi sosio-politis dan filosofis baik secara eksplisit maupun implisit yang mendasari kecenderungan teologisnya. Untuk memperjelas posisi dan tipologi A. Hassan, maka kerangka analisis menggunakan mekanisme pembacaan sebagai berikut :

pertama,  “objektivasi melalui analisis struktural” yang membuka wahana teks. Teks adalah “any discourse fixed by writing”, teks adalah wacana yang difiksasikan ke dalam bentuk tulisan (la fixation par l’écriture est constitutive du texte lui méme),[13] artinya teks merupakan fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan yang difiksasikan dalam bentuk tulisan.  Karya-karya A.Hassan dibiarkan bicara tentang dirinya sendiri sehingga bersifat objektif. Implikasinya, tugas utama hermeneutika bukan hanya untuk mendorong pembaca ke suatu keputusan, tetapi mengajak pembaca membiarkan diri untuk disapa oleh gagasan-gagasan A.Hassan. Hal ini berarti pembaca mesti membuka diri agar teks menyapa sebagai bagian dari kategori la chose du texte. la chose du texte yang dimaksud adalah dunia teks.

Kedua, Objektivasi diteruskan melalui penggelaran karya-karya A.Hassan dengan cara mengambil jarak (distanciation) dari pengarang (distanciation from the author). Proses penjarakan tidak hanya terjadi antara pengarang dan pembaca, tetapi penjarakan terjadi pada konteks pembicaraan (distanciation from the context).[14] Pada tahap ini diarahkan pada penemuan mekanisme strukturisasi  yang terwujud dalam penataan tekstual dan strategi pembentukan makna yang tersembunyi.

Ketiga, Tahap selanjutnya adalah pemahaman diri (la compréhension de soi), yaitu pembacaan karya-karya A.Hassan yang bermuara pada penafsiran diri pelaku agar memahami diri dengan lebih baik atau appropriasi (appropriation) yaitu suatu proses untuk membuat apa yang asing menjadi miliknya sendiri. Ada proses dekonstruksi terhadap praduga-praduga yang menghalangi keterbukaan karya-karya A.Hassan. Tahapan berikutnya adalah berusaha merekonstruksi ruang historis yang menjadi wahana kelahiran teks baik berupa sistem pengetahuan, pandangan dunia (worldview) maupun kepentingan ideologis.

Gagasan pembaruan A. Hassan bersumber dari dialektika  empat ide pokok, yaitu tentang; Pertama, Sumber Hukum Islam. Kedua, Ijtihad, Ittiba, dan Taqlid. Ketiga, Bid’ah. Keempat, Paham Kebangsaan. Dialektika dan kesatuan empat ide tersebut  melahirkan ide pendukung (supporting ideas) yang berfungsi memperkuat konstruksi seluruh bangunan ide yaitu : teologi.

Pertama, Sumber Hukum Islam

A. Hassan tidak pernah membatasi secara tegas jumlah sumber hukum itu, tetapi yang pokok, katanya, ialah Al-Qur’ân dan Al-Sunnah atau Hadis. Sedang Ijma’ dan Qiyas sesungguhnya tidak berdiri sendiri dan tetap merujuk kepada dua sumber itu. Hassan berpendapat,  khususnya tentang pengamalan hadis, ada dua macam yang tidak boleh dipakai, yaitu lemah riwayatnya dan yang palsu riwayatnya.  Kedua macam hadis ini tidak boleh dipakai untuk menetapkan sesuatu hukum halal, haram, sunnat atau makruh. Ia hanya boleh dipakai untuk membantu keterangan saja, bukan jadi pokok pedoman.[19]

Demikian juga pandangan-pandangan Hassan tentang pemakaian hadis, misalnya, tentang keberatan Hassan terhadap penggunaan hadis dhaif dalam fadlâil al-‘Amâl, karena bagaimanapun juga hadis dhoif adalah hadis yang tidak dapat diakui sebagai riwayat dari Nabi saw.[20] jadi yang bisa dipakai sebagai sumber hukum Islam, kata Hassan, ialah hadis-hadis yang sahih riwayatnya, di samping tidak bertentangan dengan ayat Al-Qur’ân atau Hadis yang riwayatnya lebih kuat. Jika ada yang demikian, maka hadis tersebut hendaklah ditakwilkan dengan arti yang tidak menyimpang dari ketentuan Bahasa Arab. Tetapi bila tidak mungkin ditakwilkan maka harus didiamkan (tawaqquf) sementara, yakni tidak dipakai.[21]

Sedang ijma’ menurut bahasa berarti bersatu atau mengadakan persatuan. Dan menurut istilah bersatunya ulama mujtahidin pada suatu masa untuk menentukan hukum sesuatu perkara dengan pikiran mereka, karena tidak ada alasan Al-Qur’ân atau Hadis dan juga tidak dapat ditentukan hukumnya dengan jalan Qias[22]. Hassan berpendapat tentang sebagian ulama yang menyatakan keputusan mujtahidin seperti ini sebagai pokok sumber hukum Islam seperti Al-Qur’an dan Al-Sunnah, sedangkan sebagian lainnya tidak membenarkannya karena akan kesulitan dalam menentukan siapa sesungguhnya ulama yang mujtahidin itu. Karena itu ijma yang diakui oleh Hassan adalah Ijma’ Sahabat Nabi. Ijma seperti ini diterima sebagai sumber hukum Islam, sebab para Sahabat tidak mungkin berani bersepakat menentukan sesuatu hukum kalau tidak ada landasan yang datang dari Qur’ân dan Sunnah, tetapi ijma ini pun tidak berdiri sendiri.[23]

Adapun Qiyas menurut bahasa “menimbang,”. Dalam istilah agama, Qiyas “memberikan suatu hukum yang sudah ditentukan oleh agama untuk sesuatu perkara kepada perkara lain yang hukumnya belum ditentukan oleh agama, karena keduanya ada persamaan”. Seperti Qiyas antara gandum dan beras dalam mengeluarkan zakat. Dan dalam masalah keduniaan, Hassan membenarkan Qiyas dipakai sebagai cara menentukan hukum, asal hukum itu diambil dari Al-Qur’ân dan Al-Sunnah. Karena itu, kata Hassan, Qiyas pun tidak berdiri sendiri.[24]

Inilah yang kemudian menjadi dasar penolakan Qiyas dalam masalah ibadah, karena pemakaian qiyas di sini akan berarti penambahan baru dalam ibadat. Sebab masalah-masalah ibadah telah digariskan dan ditentukan oleh Allah atau Rasulullah.[25]

Kedua, Ijtihad, Ittiba, dan Taqlid

Umat Islam masa itu dalam memahami dan mengamalkan ajaran-ajarannya hanya melalui dua jalan, yakni ijtihâd dan taqlîd, sedangkan konstruksi pemikiran ijtihâd telah dianggap selesai, yaitu dengan meninggalnya para Imam Madhab. Kalaupun akan melakukan sebuah ijtihâd yang baru, ia harus mengikuti pola pada apa yang telah digariskan oleh imam-imam madhab. Dengan kata lain, berijtihâd dalam ijtihâd. Sedangkan bagi orang yang tidak memenuhi syarat, maka ia harus bertaqlîd.

Maka Hassan mengajukan tiga gagasan, yakni Pertama, ijtihâd belum selesai,Kedua, solusi bagi orang-orang yang tidak memenuhi dalam melakukan ijtihâd (baca: ittiba’) dan ketiga, mendefinisikan kembali istilah taqlîd, tidak lain adalah untuk mengkoreksi terhadap sistem umat Islam dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Dengan kata lain, doktrin tertutupnya pintu ijtihâd, ia buka lagi dan dijadikan sebagai sebuah diskursus, kemudian mengaktualisasikan istilah ittiba’ sebagai sebuah alternatif[26] dalam metode mengamalkan, dan terakhir ia definisikan kembali istilah taqlîd, karena menurut Hassan melakukan pekerjaan ini dilarang oleh Allah[27] dan haram hukumnya.[28]

Ketiga,  Bid’ah.

adalah bagaimana seorang yang beragama Islam mewujudkan penghambaannya kepada Tuhan dengan suatu sistem ibadah yang teratur menurut cara-cara tertentu? Dalam Islam apakah penghambaan diri yang berwujud ibadat telah diatur dengan cara menurut ketentuan ajaran Islam? Dan menurut A.Hassan, bahwa bagi pemeluk Islam cara beribadah tersebut telah diatur dengan tegas. Karena itu, ia membagi dua macam ibadah yaitu yang berkenaan dengan; Satu, keduniaan. Dua, keakhiratan.

Ibadah yang berkenaan keduniaan, menurut Hassan, ialah segala masalah atau perbuatan yang biasa atau mungkin dikerjakan manusia, walaupun seandainya tidak ada agama di dunia ini. Hal yang demikian disebutnya ma’qûl al-Ma’nâ, maksudnya ialah sesuatu yang sebab dan bisa dipahami oleh akal pikiran. Karena itu, perkara keduniaan ini jika ditetapkan oleh agama disebut “urusan agama bagi keduniaan”. Dan jika agama mewajibkan, maka hukumnya wajib, jika mensunnahkan, maka sunnah hukumnya, dan seterusnya.[29]

Sedang masalah keakheratan, Hassan mendefinisikan sebagai masalah atau perbuatan yang seandainya tidak ada petunjuk agama, manusia tidak akan mengerjakannya[30]. Hal ini dinamakan ghairu ma’qûl al-ma’nâ, yakni sesuatu yang sebab dan tujuannya tidak bisa difahami oleh akal fikiran. Karena itu, dalam masalah ini hanya ada hukum wajib dan sunnah, selain haram dan bid’ah. Dengan kata lain, tidak ada bid’ah lain kecuali haram, karena ibadah yang tidak diwajibkan atau disunnahkan oleh agama itu termasuk bid’ah.[31]

Dan khusus untuk masalah yang kedua, kata Hassan, yakni ghairu ma’qûl al-ma’na bisa disebut ada dalam Islam, jika didasarkan atas keterangan sumber-sumber hukum Islam. Bila tidak, maka itulah yang pada hakikatnya disebut bid’ah. Hassan menyebut bid’ah sebagai perbuatan atau bacaan yang bersifat keakhiratan yang dilakukan orang, padahal tidak ada keterangan dari agama, menurut sumbernya Al-Qur’ân dan Al-Sunnah. Padahal agama Islam dengan amat keras melarang umat Islam melakukan bid’ah. Demikian kerasnya larangan itu, kata Hassan, maka seorang yang datang menghadiri acara yang didalamnya terdapat bid’ah adalah haram, kecuali kedatangan itu untuk mengubah bid’ah dengan tangan atau ucapan.[32]

Dengan demikian, apapun yang hubungannya dengan beribadah kepada Allah, seseorang harus melakukan persis seperti yang termaktub dalam Al-Qur’ân dan  seperti yang dicontohkan oleh Nabi saw. tampa tambahan ataupun pengurangan. Maka Hassan menolak bacaan ushalli ketika memulai sembahyang,[33] bacaan wabihamdih dalam tasbih ruku’ dan sujud,[34] bacaan sayyidina dalam shalawat tasyahhud,[35] dan do’a qunut selain qunut nazilah,[36] karena masing-masing tidak berdasar keterangan agama, karena itu haram dikerjakan.

Demikian juga dalam upacara-upacara yang dalam pandangan Hassan bid’ah dihukuminya, seperti talqîn mayit yang baru saja dikuburkan,[37] jamuan makan dan tahlil di rumah keluarga yang meninggal,[38] membaca maulid,[39] dan pesta bulan ketujuh bagi orang hamil atau tingkeban.[40] Pandangan Hassan tentang bid’ah ini merupakan seruan kepada umat Islam dalam melihat kembali cara melaksanakan ajaran Islam.

Keempat, Paham Kebangsaan

sebelum Indonesia merdeka ada beberapa pergerakan yang berjuang menuju tercapainya kemerdekaan Indonesia. Di antaranya fihak yang berasaskan paham Kebangsaan, yakni semata-mata untuk kepentingan bangsa tanpa menjadikan agama tertentu sebagai pandangan politik dan sumber inspirasi. Begitu juga sebaliknya, yaitu fihak yang perjuangannya berdasar dan bercorak agama tertentu[41]. Fihak pertama tidak menghendaki bahkan melarang orang melibatkan agama dalam segala pembicaraan umum, serta tidak menghendaki Islam dijadikan dasar sesuatu sungguhpun mereka itu beragama Islam. Inilah yang oleh A.Hassan disebut golongan netral agama. Dalam pandangan Hassan sikap ini sebagai menyempitkan langkah mempersatukan bangsa Indonesia karena akan menjurus pada kebencian agama.[42]

Apakah demikian kenyataan yang ada? Hassan menganggap kenyataan saat itu menunjukkan bahwa paham kebangsaan dipakai oleh pergerakan yang bersikap tidak tahu-menahu tentang agamanya dalam mencapai kemerdekaan, yang nantinya akan dilaksanakan hukum-hukum buatan manusia sendiri. Sebaliknya bahwa pergerakan Islam berusaha mencapai kemerdekaan yang nantinya akan dilaksanakan hukum-hukum Islam.[43] Jika faham kebangsaan seperti yang tertera di atas, maka secara tegas Hassan menolaknya, karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dengan mengutip sabda Nabi saw. :

Artinya: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menyeru kepada ashabiyyah, yang berperang atas dasar ashabiyyah dan yang mati karena membela ashabiyyah”.[44]

Kemudian sabda Nabi saw. yang lainnya:

Artinya: dari Watsilah Ibn Al-Asqa; saya bertanya kepada Rasulullah saw. apakah seseorang yang mencintai kaumnya itu termasuk ashabiyyah. Rasulullah menjawab: Tidak, tetapi yang termasuk ashabiyyah ialah bila seseorang menolong kaumnya dalam kedhaliman[45]

Dengan hadis-hadis yang di atas, Hassan berpandangan bahwa cinta bangsa tidak terbilang ashabiyyah, kalau yang dibelanya unsur-unsur menghancurkan kedhaliman. Karena itu, cinta bangsa dan tanah air dibenarkan bagi seorang muslim dengan orientasi; Satu, maju dalam pendidikan. Dua, maju dalam ekonomi. Tiga, maju dalam teknologi. Empat, sekurang-kurangnya tidak dibawah derajat negara-negara lain. Lima, mengurus negrinya sendiri dengan hukum dan peraturan yang termaktub dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul.  Hanya  saja,  bagi  Hassan  satu-satunya  pilihan supaya umat Islam dapat melaksanakan hukum-hukum Allah dan tercapai keinginan tersebut harus ada pemerintahan Islam, dengan didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’ân yang mengharuskan terlaksananya hukum-hukum Allah. Sebagaimana Pandangan ini dituangkan dalam tulisan Islam dan Kebangsaan, yakni:

…bahwa masuk dan membantu pergerakan-pergerakan yang berdasar kebangsaan itu satu dosa, karena sekurang-kurangnya pergerakan kebangsaan itu menuju kepada membuang undang-undang Allah dan Rasul-Nya dan menggantikan dengan hukum-hukum bikinan manusia, sebagaimana telah nyata dalam teori dan praktek-praktek mereka.[46]

Pikiran-pikiran Hassan seperti ini merupakan cerminan dari sikap politik terhadap situasi dan kondisi politik Indonesia. Pemerintahan Islam baginya adalah pilihan lain dari sikap paham kebangsaan yang dianggapnya sebagai tidak memberikan tempat bagi agama. Ia menginginkan Islam memasuki seluruh aspek kehidupan manusia, sesuai dengan keyakinannya bahwa kebenaran ajaran Islam adalah mutlak. Islam dipandangnya sebagai sesuatu yang tertinggi dan terluas menerjang batas-batas kebangsaan dan ketanahairan. Hal ini terlihat dalam sikapnya yang menentang terbatasnya keanggotaan Masyumi khusus bagi orang Indonesia. Karena Masyumi itu berdasar Islam, maka harus terbuka juga bagi orang-orang Islam di negara lain.[47]

2. Distansiasi : Pembacaan Tipologis Pemikiran A.Hassan

Metodologi adalah aspek tersulit dari pembahasan pemikiran tokoh. Untuk dapat memahami metodologi pemikiran dan penafsiran A.Hassan, secara sederhana dapat dilakukan dengan cara menelusuri perkembangan pemikirannya (tipologi) atau membuat sketsa yang didasarkan pada kecenderungan-kecenderungan umum. Howard M. Fiderspiel menjelaskan bahwa A. Hassan sebagai seorang modernis, sedangkan Allan Samson dalam pembahasannya tentang religio-politi-behavior menjelaskan bahwa di kalangan tokoh-tokoh politik Islam Indonesia posisi A.Hassan adalah seorang tokoh fundamentalist.[48] Tipologi ini, menurut Allan Samson, didasarkan pada keyakinan Hassan bahwa hanya Islam yang memberikan dasar dan moral bagi negara, dan bahwa undang-undang dan peraturan-peraturan yang mewujudkan perintah Al-Qur’an haruslah dilaksanakan.

Alasan ini didukung oleh fakta bahwa A.Hassan adalah tokoh yang tidak kompromi khususnya dalam masalah-masalah tertentu yang ia anggap prinsip[49] sehingga sering dipandang sebagai orang yang “konservatif”. Akan tetapi, aksi Hassan seperti ini mendapatkan justification (pembenaran) secara konstitusional seperti yang dituangkan dalam manifesto Persatuan Islam tahun 1953 yang menyebutkan bahwa pandangan model A.Hassan adalah pandangan Persatuan Islam dan menjelaskannya sebagai:

Pandangan yang “revolusioner-radikal”  karena ingin mengubah masyarakat sampai ke akar-akarnya dan juga menghancurkan penyakit umat Islam dengan cara radikal dan revolusioner; secara jelas, tanpa samar-samar, tanpa sungkan-sungkan dengan penuh kepastian.[50]

Diistilahkannya dengan revolusioner-radikal dalam manifesto Persatuan Islam sebagai usaha untuk meyakinkan bahwa apa yang dianggap sebagai fundamentalis dalam masalah agama tetap berfungsi dalam masyarakat. Seperti sikapnya juga pada masa sebelum perang kemerdekaan, yang sangat menekankan bahwa pengamalan kewajiban-kewajiban dasar agama, seperti salat, zakat, haji dan lain-lainnya ini secara benar, bebas dari bid’ah, merupakan langkah esensial dalam menciptakan langkah umat Islam yang kuat, sehat dan efektif. Sebab ini menyangkut pada pola hubungan antara manusia dan Tuhan yang sangat tergantung pada interpretasi dan implementasi yang benar terhadap hukum agama. Karena itu, bagi A.Hassan (dan seluruh komponen anggota PERSIS) tidak ada kamusnya untuk menerima sebuah pandangan bahwa untuk memperkuat persatuan, permasalahan-permasalahan furu’ dan khilafiyyah hendaknya disimpan dan diabaikan.

Sehingga Robaie Widjaja melukiskan secara padat tentang karakteristik pemikirannya sebagai berikut:

Kehidupan seorang Muslim menurut Ahmad Hassan tidaklah terpisah dengan hukum-hukum Islam (dan) sebagai konsekuensinya manusia harus menghargai kehidupan Islami, individu Muslim harus…beribadah kepada Allah, yang dibersihkan dari unsur-unsur non akidah yang berasal dari luar Islam atau tradisi-tradisi yang tidak dibenarkan oleh islam.

…..ulama-ulama terkenal dan imam-imam besar Islam…hanya dianggap sebagai “guru” yang pendapat-pendapatnya tidak boleh diterima secara buta. Karena alasan inilah maka A.Hassan tidak mengikuti salah satu dari empat mazhab besar…tetapi pendapat-pendapat empat mazhab besar (tidaklah) salah, asalkan pendapat-pendapat mereka tentang suatu masalah tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum islam (yaitu, Qur’ân dan Sunnah).

Kehidupan secara umum, menurut A.Hassan, bergantung pada kehendak Allah. Jika orang ingin menempatkan diri di suatu tempat maka penempatan di tempat tertentu itu adalah karena takdir Allah; jika mereka tidak ingin berada di suatu tempat maka sikap itu adalah karena takdir.[51]

3. Apropriasi : pembacaan atas metode pemurnian dan eklektik

Sistem teologi yang dikembangkannya adalah teologi tradisional yang tidak banyak menggunakan pena’wilan, sebagai carbon copy Abu Hasan al-Asy’ari. Konsekwensinya ia menggunakan metode pemurnian (puritan) dan eklektik. metode pemurnian yaitu berpikir keislaman dengan hanya kembali kepada al-Qur’an dan as-sunah dengan pendekatan literalis-tekstualis. Dari kedua metode ini Tamar Djaya menilai terjadi shift paradigm dari cara berpikir kolot ke modernis dengan membawa paham ideologi Wahabi.

Pertama, Metode Pemurnian

Surat Al-Nisa ayat 59 yang ditafsirkan dalam bangunan pemikiran A.Hassan merupakan hal yang prinsipil dan pada perkembangannya penafsirannya itu menjadi landasan bagi visi dan orientasi dirinya dan organisasi yang dipimpinnya, sebagaimana ditulis dalam QA/QD PERSIS Bab I Fasal 2[52], artinya Persatuan Islam bertujuan untuk menempatkan kaum Muslimin pada ajaran aqidah dan syari’ah yang murni berdasarkan Qur’ân dan Sunnah. Pada ayat ini dipahami oleh A.Hassan harus secara mentah-mentah, karena itu pada beberapa kasus misalnya, khususnya dalam kaitan politik penafsiran seperti ini dapat dibaca.

Pertama, kesaksian G.F. Pijper tentang Hassan Bandung dalam masalah Kebangsaan yang bersikap tidak acuh (masa bodoh) terhadap Jepang ketika menjajah Indonesia (1942-1945).  Mengapa Hassan Bandung  selama itu berhasil mempertahankan sikap acuhnya terhadap Jepang. Dan sikap tidak peduli terhadap Jepang dapat diartikan sebagai silent confrontation mengingat ratusan ulama melakukan sikap akomodatif terhadap Jepang?[53] Kesaksian ini sangat penting mengingat kolonialis Jepang memakai taktik “mencumbu” umat Islam. Apakah karena pada masa itu, A.Hassan sudah menetap di kota kecil Bangil?[54] Jika alasannya jauh dari pusat pergumulan intelektual bukankah ia merupakan ulama yang terkemuka, dengan kekreativitasan intelektualnya menghasilkan sejumlah karya yang begitu banyak, baik karya ilmiah, fatwa ataupun anekdot-anekdot yang jenaka?

Begitu juga pada masa kolonial Belanda, Hassan adalah insan politik. Majalah yang diasuhnya, Pembela Islam, yang terbit sampai 70 nomor bukanlah sekedar dimeriahkan oleh masalah furu’, tetapi artikel-artikelnya yang dimuatnya menyorot juga masalah Kristen dan menurut Ridwan Saidi: “persoalan itulah sebab berakhirnya umur Pembela Islam”.[55]

Kesimpulan yang dapat kita tarik, dari kesaksian Pijper bahwa Hassan itu tokoh pembaharu yang berkepribadian. Dengan kepribadiannya, baik Belanda ataupun Jepang tidak dapat “menggunakan” Hassan, karena ia mempunyai sikap dasar antikolonialisme.[56]

Sekarang pemahaman apa yang melatarbelakangi Hassan seperti ini? Hemat penulis ini tidak lain dilandasi oleh spirit Surat Al-Nisa ayat 59 yang penafsirannya harus murni (baca: membaca secara tekstual), dalam surat Al-Nisa ayat 59 itu dikatakan segala perkara haruslah bersumber Al-Qur’ân dan Al-Sunnah. Konsekuensi logisnya dalam Al-Qur’ân pada surat Al-Baqarah ayat 120 mengharamkan umat Islam terlibat dengan sikap akomodatif pada mereka, bahkan dalam sebuah Riwayat atau Hadis Nabi mengatakan secara tegas bahwa jika umat Islam bertemu dengan kaum Kafir untuk bersikap memarjinalisasikannya.[57]

`s9ur 4ÓyÌös? y7Ytã ߊqåkuŽø9$# Ÿwur 3“t»|Á¨Y9$# 4Ó®Lym yìÎ6®Ks? öNåktJ¯=ÏB 3 ö@è% žcÎ) “y‰èd «!$# uqèd 3“y‰çlù;$# 3 ÈûÈõs9ur |M÷èt7¨?$# Nèduä!#uq÷dr& y‰÷èt/ “Ï%©!$# x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$#   $tB y7s9 z`ÏB «!$# `ÏB <c’Í<ur Ÿwur AŽÅÁtR ÇÊËÉÈ

Kedua, seperti yang diungkapkan oleh Harry A. Poeze dalam Politiek Politioneele Overzichten Van Nederlandsch-Indie Deel tentang keterlibatan A.Hassan menghadiri pertemuan-pertemuan rahasia Syarekat Islam yang kemudian berkelanjutan hingga zaman kemerdekaan. Dan bersama-sama dengan tokoh kawakan SI Syafei Wirakusumah, A.Hassan duduk menjadi Menteri Agama pada Kabinet Negara Pasundan.[58] Penunjukan A.Hassan pada Kabinet itu oleh Wiranatakusumah (Wali Negara Pasundan) menimbulkan insiden kecil (kontroversi) dalam tubuh Masyumi, sebab akan ada alasan untuk memperkuat kedudukan Negara Pasundan. Masyumi dalam hubungan ini tidak dapat menyetujuinya, karena menurut strategi partai Negara Pasundan akan dilikuidasi selekas-lekasnya. Akan tetapi A.Hassan sendiri mempunyai pendapat lain, seperti yang ditulis dalam biografi Yusuf Wibisono oleh Subarjo I.N. menyatakan: “Bagi saya yang teramat penting ialah syi’arnya Agama Tuhan. Soal Masyumi hendak melebur Negara Pasundan, itu bagi saya kurang penting.”[59]

Mengenai keterlibatan A.Hassan dalam Negara Pasundan, Ridwan Saidi pernah menanyakan kepada Syafei Wirakusumah. Ia membenarkan dan menambahkan, bahwa dirinya juga duduk selaku Menteri Sosial –Syafei adalah tokoh SI yang sempat menghadiri Kongres SI pertama di Bandung pada tahun 1916. Dan menurut Ridwan Saidi keterlibatan A.Hassan dalam Negara Pasundan terutama disebabkan keterikatan selaku anggota rahasia SI di masa penjajahan. Karena itu, walau Masyumi pada 1949 berkeberatan dengan duduknya Hassan dalam kabinet Negara Pasundan, Hassan lebih merasa SI ketimbang Masyumi.[60]

Sepintas dari gambaran di atas, A.Hassan kelihatannya tidak komitmen dengan ide Islam dan Kebangsaan yang dinyatakannya bahwa:

Mendirikan perkumpulan (kebangsaan), mengajak orang kepada kebangsaan, menolong partai kebangsaan itu, dilarang oleh Agama Islam, dan pendapatnya ini didasarkan pada kenyataan bahwa orang Islam di Indonesia, karena kebangsaan, menjadi terpisah dari orang Islam di bagian lain dunia, sedangkan menurut Qur’ân semua Muslimin adalah bersaudara. Karenanya berpartai kebangsaan berarti keluar dari Islam, sebab sudah barang tentu asas kebangsaan ini berlawanan dengan asas Islam. Maka orang yang keluar dari Partai Islam itu dipandang keluar dari islam. Dan sudah barang tentu bahwa Partai Kebangsaan itu tidak akan menjalankan hukum Islam, karena partai ini perlu netral agama, yaitu tidak boleh mengambil satu agama yang tertentu buat dijadikan azas kempulannya atau asas pemerintahannya kelak. Padahal Islam menyuruh kita bersatu secara Islam dan dengan asas Islam. Islam mewajibkan kita merdeka, bukan lantaran senang atau susah, tetapi untuk menjalankan perintah-perintah Islam dengan sempurna di sekalian perkara. Dunia dan akhirat. Islam tidak mengaku ummatnya akan seseorang yang berasas kebangsaan, menolong partai kebangsaan, mengajak orang kepada partai kebangsaan, marah karena kebangsaan, tetapi Islam perintah ummatnya (bukan ummat lain) supaya mengejar kemerdekaan dan mengejarkan apa-apa yang berhubungan dengan itu, semata-mata karena islam dan atas nama Islam.[61]

Hemat penulis masuknya A.Hassan pada kabinet Negara Pasundan tidak menyalahi terhadap ide awal tentang ide Islam dan Kebangsaan, karena dalam pandangan A.Hassan justru Negara Pasundan itu  menggunakan asas Islam dengan indikasi dibentuknya “mentri” yang mengurus keagamaan, malah dengan hak yang penuh dalam menjalankan pekerjaannya. Hal ini sangat berbeda dengan pemerintahan baru pimpinan Bung Karno, yang menggunakan asas Pancasila. Apalagi pada beberapa kasus tentang kebijakan yang dibuatnya sangat merugikan umat Islam, misalnya kasus Nasakom.

Alasan lain bahwa kabinet Negara Pasundan ini bukan negara yang bermuara pada chauvinisme, tapi tetap dipandang sebagai “Negara Islâmi” adalah bahwa karena ia menerima asas Islam. Alasan normatif yang dikemukakan oleh A.Hassan adalah sepanjang pemerintahan (negara) menjalankan syari’ah dalam pengertian yang berkaitan ibadah (seperti salat, puasa, haji, upacara-upacara penguburan mayit, dan sebagainya), perkara-perkara temporal, prilaku pribadi, mengatur kebanyakan ritual, maka pemerintahan tersebut harus didukung walaupun tidak memakai embel-embel “Negara Islam”, misalnya[62]. Sebagaimana alasan tersebut pernah dikemukan pada halaman-halaman yang telah lalu, yaitu “Bagi saya yang teramat penting ialah syiarnya agama Tuhan…”[63].

Dari sini dapat diketahui bahwa A.Hassan itu mencoba menafsirkan pada sisi lain sangat “kontekstual” sesuai dengan kebutuhan, yaitu bagaimana ia ingin menerapkan bahwa segala persoalan atau masalah pada ayat-ayat Al-Qur’ân atau Al-Sunnah, jika dilihat pada kasus ini.

Kedua, metode Eklektik

Sedangkan mengenai pembahasan metodologi penafsirannya, A.Hassan menulis dalam satu artikel pendeknya menyebutkan :

Pertama,  ketika terdapat pertentangan pandangan mengenai satu masalah keagamaan, maka harus melihat Al-Qur’ân dan As-Sunnah. Apapun yang dinyatakan dalam kedua sumber itu, “kita menerima” dan “apa yang tidak ada dasarnya, kita tolak”. Kedua, dalam satu masalah yang pertentangan konfliknya masing-masing didukung oleh Hadîs (tanpa penjelasan dari Al-Qur’ân), harus menolak Hadîs dhaif, dan harus mengambil pandangan Hadîs yang lebih sahih. Ketiga, ketika Al-Qur’ân dan Hadîs bertentangan mengenai satu masalah, maka harus menolak Hadîs itu.[64]

A.Hassan menggunakan bangunan metodologis dengan metode talfiq (memilih) saat tidak ada sumber yang sahih atau kuat dari Al-Qur’ân dan Al-Sunnah –yaitu suatu usaha seorang Muslim memilih salah satu mazhab. Dalam terminologi filsafat skolastik disebut dengan eklektik, yang berasal dari bahasa Yunani ek [keluar] dan lego [pilih, pilah]. Maka eklektikos, yang bermakna seseorang yang memilih, dan dari eklegein, berarti mengambil, memilih dari. Dengan demikian eklektik adalah filsafat atau teori yang tidak asli, tetapi memilih unsur-unsur dari berbagai teori atau sistem.[65]

Kecenderungan menggunakan metode eklektik pada diri A.Hassan didasari pada ucapan imam-imam mazhab, misalnya Imam Abu Hanîfah yang mengatakan bahwa:

“Apabila pandangannya itu tidak sesuai dengan apa yang diisyaratkan oleh Al-Qur’ân dan Al-Sunnah, maka tinggalkan pandangan kami itu.” [66]

Kemudian Imam Mâlik Ibn Anas:

“Sesungguhnya kami ini seorang manusia yang bisa benar dan bisa salah, maka jika kamu sekalian melihat pandangan kami ini sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah Allah, jadikanlah sebagai pegangan, tetapi jika sebaliknya tinggalkanlah.”[67]

Sedangkan Imam Syâfi’î mengatakan bahwa:

“Setiap Hadis yang dari Nabi saw. adalah pandangan kami juga, maka sekali-kali jangan dengar apapun (pandangan) yang dari kami.”[68]

Adapun yang dari Imam Ahmad Ibn Hambal adalah:

“Janganlah bertaqlid (mengikuti dengan cara buta) kepada Imam Mâlik, Imam Al-Syâfi’î, Imam Al-‘Auzâ’î, dan Imam Al-Syaurî, akan tetapi ambilah (jadikanlah pegangan) dari mana saja.”[69]

Argumentasi bahwa kecenderungan pada diri A.Hassan untuk bertalfiq ini dilukiskan secara sistematik oleh K.H. A. Zakaria dalam bukunya itu, ketika memberikan catatan tentang sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Anas sebagai berikut:

“Anas menceritakan tentang Nabi Muhamad saw. yang mengatakan bahwa apabila kamu melihat sebuah persoalan-persoalan dunia (yang tidak ada sangkut-pautnya secara operasional) kata Nabi saw. kamu sekalian punya wewenang untuk memutuskan atau lebih tahu, akan tetapi jika masalah yang hubungannya dengan agama baik secara teknis ataupun secara non teknis maka Aku (Nabi saw.) yang harus dijadikan bahan acuan.”[70]

Pemahaman terhadap Hadîs ini adalah bahwa sepanjang bahan acuannya (yaitu Al-Qur’ân dan Al-Sunnah) menawarkan solusi terhadap setiap persoalan maka bahan-bahan acuan seperti Imam-imam Syeikh, madhab-madhab, organisasi kemasyarakatan, akal, syair-syair, dan adat, bukan bahan acuan yang benar, kecuali sumber kedua itu tidak menjelaskannya –minimalnya secara tersirat.

Sebab cara menafsir dengan metode talfiq atau eklektik ini sangat luwes, pleksibel dan efektif. Misalnya para penafsir dapat membatasi usaha berfikirnya hanya dengan menguji hasil karya intelektual lainnya. Metode ini dapat mencomot apa yang dinilainya benar dan bernilai dan  biasanya  cenderung  percaya dan  beranggapan  bahwa penggalan-penggalan ide yang dipilih serta digabungkan dari berbagai metode yang ada itu merupakan yang terbaik.[71]

Metode talfiq yang dipakai oleh A.Hassan dalam membangun pemikirannya (reaktualisasi) yang tidak terikat pada salah satu madzhab, dengan cara memilih-milih pemikiran suatu mazhab, seperti kecenderungan A.Hassan pada teologi Asy’ariyyah (teologi)[72], pemikiran Islam Ibn Taimiyyah dan Rasyid Ridha (“filsafat”), dan sebagian besar Fiqih Hanbali (Fiqih)[73]. Dengan demikian sikap Hassan dalam memilih terhadap model-model pemikiran dan penafsiran di atas adalah sesungguhnya diorientasikan dalam kerangka mendefinisikan ideologi gerakan umat Islam –setidaknya bagi warga Persis– yang cocok bagi Bangsa Indonesia.

d. Penutup

Demikian penjelasan singkat tentang pembaruan keislaman di Indonesia yang menunjukkan adanya proses perubahan dan kesinambungan  dari sebuah gerakan pembaruan, terutama pembaruan yang ditunjukkan oleh Persatuan Islam sebagai Organisasi Masa.

Perubahan (change) terjadi ketika gerakan pembaruan Persis merupakan tradisi baru memiliki kekuatan dibanding tradisi lama. Akan tetapi, proses kesinambungan (continuity) dengan tradisi lama tetap berjalan meskipun telah muncul tradisi baru. Gerakan pembaruan Persis  merupakan artikulasi dari proses kesinambungan (continuity) dan perubahan (change), dan purifikasi menjadi pendekatan untuk memaknai realitas sosial keislaman di Indonesia.


[1] Awad Bahasoan, “Gerakan Pembaharuan Islam : Interpretasi dan Kritik”, Prisma, No. Ekstra, tahun 1984, h. 106. Dari berbagai gerakan pembaruan, ada yang lebih menekankan pada aspek normatif-teologis dan ada yang memusatkan perhatian pada aspek obyektif-historis, ada yang mendekatinya dari aspek struktural, kultural dan aksi sosial. Dalam mengamati perkembangan pembaruan pemikiran tersebut sampai pertengahan 80-an, fachri Ali dan bahtiar Effendi membagi gerakan pembaruan ke dalam empat tipologi, yaitu : neo-modernisme Islam, sosialisme-demokrasi Islam, internationalisme dan Universalisme Islam. Pada saat ini telah timbul kesadaran kolektif, respons, atau kesaksian zaman dari suatu generasi yang berada pada usia peralihan dari masyarakat agraris ke zaman industri suatu generasi yang melihat masa depan Islam sebagai kekuatan sosial, budaya, ekonomi yang disebabkan

[2] Lihat, Basthami M. Said, Mafhum Tajdid ad-Din (Kuwait: Dar ad-Da’wah, 1984).

[3]Lihat, Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif neomodernisme Islam. Taufiq Adnan Amal (ed.)(bandung: Mizan, 1987), h. 18.

[4] Yusuf Qardhawi, Dasar Pemikiran Hukum Islam, Tajdid dan ijtihad (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h. 96.

[5] Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), h. 279.

[6] Meredith B. Mc. Guire, Religion: The Social Context (California: Wadswoth Publishing Company, 1981), h. 150.

[7] Bryan S Turner, Religion and Social Theory (London: Sage Publications, 1991), h. 45-50.

[8] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia (Yogyakarta: Nida, 1971), h. 5-10.

[9] “Mengapa Biografi” ? demikian Taufik Abdullah memberi judul tulisan dalam bentuk pertanyaan. Ia menjawab sendiri pertanyaan itu, bahwa dengan biografi kita semakin dekat paada gerak sejarah yang sesungguhnya. Dengan biografi kita semakin mungkin untuk mengerti pergumulan manusia untuk memenuhi tuntutan yang dikenakan pada dirinya oleh pandangan hidupnya atau oleh harapan masyarakat padanya. Dari sudut pengenalan sejarah dan masyarakat biografi lebih mendekatkan kita pada manusia. Dari segi inspirasi ia lebih memberikan perasaan keintiman. Taufik Abdullah, “Mengapa Bigrafi”, dalam Prisma (Jakarta: LP3ES, Agustus, 1977), VIII, h. 117.

[10] Kuntowijoyo. “Dari Integrasi nasional ke Sistematisasi Nasional” dalam Transformasi Masyarakat Indonesia (Jakarta: Kelompok Studi Proklamasi, 1986), h. 39.

[11]M. Masyhur Amin. H.O.S. Tjokroaminoto: Perjuangan dan Alam Pikirannya (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1980) h. 29.

[12] Asumsi ini didasarkan pada pernyataan H.A.R. Gibb terhadap Jamaluddin al-Afghani. HAR. Gibb, Modern Trends in Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1974), h. 43.

[13] Istilah  discourse adalah bahasa ketika ia digunakan untuk berkomunikasi. Discourse merujuk kepada bahasa sebagai event, yaitu bahasa yang membicarakan tentang sesuatu. Bahasa terbagi kepada dua sifat, yaitu: pertama,  bahasa sebagai meaning adalah dimensi non historis, dimensi statis. Kedua, bahasa sebagai event adalah dimensi yang hidup dan dinamis.  Paul Ricoeur, “What is a Text ? Explanation and Understanding”, dalam hermeneutics & the Human  Sciences, ed. John B. Thomson ( Cambridge: Cambridge University Press, 1995), h.145.

[14] Lihat, Paul Ricoeur,  Du Texte  à  l’action…,h. 101-2, 125.

[15]Lihat Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX,(Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press,1996), h. 279-282. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Federspiel menggambarkan begitu banyaknya karya-karya yang ditulis oleh Hassan, baik yang oleh sendiri ataupun yang bersama.

[16] Lihat Tamar Djaja, Riwayat Hidup A.Hassan, (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1980), h. 37. Pada buku ini dijelaskan bahwa di kota Singapura telah diadakan seminar tentang A.Hassan pada tanggal 28-30 Januari 1979, anehnya justru diadakan oleh Ormas Muhamadiyah Singapura yang terpengaruhi oleh pemikiran-pemikiran A.Hassan, sehingga disebutkan bahwa setiap anggota Muhamadiyyah harus memiliki -–sekurang-kurangnya—buku SOAL-JAWAB yang dikarang oleh A.Hassan.

[17] Lihat Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi: Tentang Surat-surat Endeh, (Jakarta: Panitya Penerbit DBR, 1963), h. 325-347.

[18] Syafig A. Mugni, Hasan Bandung: Pemikir Islam Radikal, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1994), h. 9. Lihat juga H. Tamar Djaja, Segi-segi Kehidupan A.Hassan, (Bangil: Al-Muslimun, NO, 113 (Juli, 1979), h. 45-47.

[19] Syafiq A. Mugni, Hassan Bandung…, h. 24-25.

[20] A.Hassan, Soal-Jawab I, (Bandung: CV. Diponegoro,  1988), h. 343-344.

[21] Ibid. 345.

[22] Syafiq A. Mugni, Hassan Bandung…, h. 26. Dalam Ringkasan Islam karangan A.Hassan.

[23] Ibid.

[24] A.Hassan, Risalah Al-Madzhab (Bangil: Persatuan Islam Bagian Pustaka, 1972) h. 2.

[25] Syafiq A. Mugni, Hassan Bandung…, h. 27.

[26] Ittiba’ menurut bahasa berarti mengikut, dan dalam pengertian di sini adalah menerima atau mengerjakan sesuatu yang ditunjukkan oleh seseorang dengan mengetahui alasannya dari Al-Qur’ân atau al-Sunnah. (lihat A.Hassan, Debat Taqlîd, (Al-Lisân: Nomor Ekstra, 27 Desember 1935), h. 6 dalam Syafiq A. Mugni, Hassan Bandung…, h. 28. Lihat juga Endang Saefudin Anshari dan Syafiq A. Mugni, Wajah dan Wijhah seorang Mujtahid, (Bangil: Firma Al-Muslimun, 1985), h. 66-67. Dan gagasan ini seperti yang pernah dilakukan oleh Imam Al-Tarmidi dengan mengajukan istilah Hasan diantara sahih dan dhaif pada disiplin Ilmu Musthalah Hadis.

[27] Q.S. Bani Isra’il: 36.

[28] Taqlîd adalah meniru mengerjakan dan menerima sesuatu hukum dari seseorang dengan tidak mengetahui alasannya dari Al-Qur’ân dan Al-Sunnah. Lihat Debat…, h. 7.

[29] Syafiq A. Mugni, Hassan Bandung…, h. 31.

[30] Lihat K.H. A. Zakaria, Al-Hidayah fi Masâil Fiqhiyyah Muta’âridhah, (Garut: Pesantren PERSIS Bentar, 1990), h. 2, 7 s.d. 11.

[31] Loc.cit. h. 31

[32] A.Hassan, Soal-Jawab II (Bandung: CV. Diponegoro, 1988) h. 737-746.

[33] Ibid., Soal-Jawab I, h. 91.

[34] Ibid. h. 129.

[35] Ibid. h. 143.

[36] Ibid. h. 129.

[37] Ibid. h. 212.

[38] Ibid. h. 216.

[39] Ibid. h. 371.

[40] Ibid. Soal-Jawab II, h. 615.

[41] Deliar Noer, Gerakan Moderen…, h. 235.

[42] Pembela Islam, No. I (Maret, 1956), h. 5. Dalam Syafiq A. Mugni, Hassan Bandung…, h. 33.

[43] A.Hassan, Islam dan Kebangsaan, (Bangil: Persatuan Islam Bagian Penerbitan, 1972) h. 37. Dalam Syafiq A. Mugni, Ibid.

[44] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz II (Mesir: Musthafa Al-Bab Al-Halb wa Al-Auladuh, 1952), h. 14.

[45] Ahmad Ibn Hambal, Musnad Imam Ahmad Ibn Hambali, Jilid IV, (Bairut: Al-Maktab Al-Islami Dar Shadir, tth.), h. 107.

[46] Dalam Syafiq A. Mugni, Hassan Bandung…, h. 36.

[47] A.Hassan, ABC Politik, (Bangil: Persatuan Islam Bahagian Pustaka, 1947), h. 85. Dalam Syafiq A. Mugni, Ibid. h. 37.

[48] Ibid. h. 38.

[49] Yang dimaksud dengan perbedaan prinsip-prinsip dalam pemahaman A.Hassan adalah perdebatan di antara umat Islam mengenai taqlîd dan ijtihâd. Bagi A.Hassan perdebatan perbedaan pemikiran itu disebut khilafiyyah. Sedangkan perdebatan berikutnya talqin dan ushalli, misalnya, dipandang sebagai derivasi dari berkembangnya perbedaan-perbedaan prinsip dan bukan perbedaan prinsip-prinsip itu sendiri, ini yang dikatakan sebagai furu’. Lihat A.Hassan, Masalah chilafiyyah, (Hikmah, IX, NO. 37-38, 12 Oktober 1956), h. 34. Dikutip dari Howard M. Fedespiel, Persatuan Islam…, h. 202-203.

[50] Howard M. Federspiel, Persatuan Islam…, h. 202.

[51] Roebaie Widjaja, Biografia A.Hassan, h. 36. Dikutip dari Howard M. Federspiel, Persatuan Islam…, h. 18.

[52] Syafiq A. Mugni, Hassan Bandung…, h. 138.

[53] Untuk lebih jauhnya tentang tema ini. Lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985)

[54] Hassan pindah ke Bangil (1940), masuknya Jepang ke Indonesia (1942) dan masa-masa permulaan kemerdekaan  tahun 1951.

[55] Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia, (Jakarta: LSIP, 1985), h. 30-31. Menurut analisis Ridwan Saidi, artikel-artikel tajam yang dimuat di Majalah Pembela Islam mengandung dua dimensi, Pertama, dimensi akidah adalah yang tampak secara harfiah, Kedua, dimensi siasah berupa sindiran terhadap Belanda yang memberi perlindungan istimewa terhadap Agama tersebut. Singkatnya, dengan menyorot Kristen secara tidak langsung kolonial Belanda juga ikut disorotnya.

[56] Ibid.

[57] Al-Asqalânî, Subul As-Salâm, (Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.), Jilid ke-IV, Hadis yang keempat dari Kitâb Al-Jâmi’, Bab Al-Adb. h. 155. Adapun redaksi hadisnya sebagai berikut:

[58] Lihat Ridwan Saidi, Islam…, h. 57.

[59] Ibid.

[60] Ridwan Saidi, Islam…, h. 58.

[61] Deliar Noer, Gerakan Moderen…, h. 280-281.

[62] A.Hassan, Pemerintahan Cara Islam, (Bangil: Toko Timor, 1964), h. 8. Dikutip dari Howard M. Federsfiel, Persatuan Islam…, h. 52-54.

[63] Ridwan Saidi, Islam…, h. 57.

[64] A.Hassan, Masalah Chilafiyyah, (Jurnal Hikmah, IX, NO. 37-38, 12 Oktober 1956) h. 34. Dikutip dari Howard M. Federsfiel, Persatuan Islam…, h. 202-203.

[65] Lihat A. H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi tentang Reaktualisasi Tradisi Keilmuan, (yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), h. 22-23.

[66] Lihat kitab Sifatusolât An-Nabi saw., h. 25. Lihat juga pada K.H. A. Zakaria, Al- Hidayah fi Masaili Fiqhiyyah Muta’aridoh, Garut: Pesantren Persatuan Islam, 1996), h. 16.

[67] Ibid. dan Ibid.

[68] Sifat…, h. 29. Dan K.H. Zakaria, Al-Hidayah…, h. 17.

[69] Ibid., h. 31. Dan Ibid.

[70] Ahmad Ibn Hambal, Musnad Imam Ahmad Ibn Hambal, Jilid IV. (Bairut, Maktabah Al-Islami, t.t.h. 132.

[71] Untuk lebih jelasnya dan contoh bagaimana A.Hassan menggunakan cara menafsir model ini dipakai, akan dibahas pada bab-bab selanjutnya dan tersendiri.

[72] Karya-karyanya yang khusus mengenai Ilmu Kalam dapat dilihat dalam Desertasi IAIN karya Noer Iskandar Al-Barsany, Pemikiran Teologi Islam A.Hassan, (Yogyakarta: Desertasi IAIN Sunan Kalijaga tidak diterbitkan, 1996)

[73] Lihat juga hasil fatwa-fatwanya dalam Buku Soal-Jawab Jilid I s.d. IV, (Bandung: CV. Diponegoro, 1988).

Create a free website or blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.